Sebilah keris Jawa (kanan) dengan sarung keris (
warangka).
Keris adalah senjata tikam golongan
belati (berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya) dengan banyak fungsi
budaya yang dikenal di kawasan
Nusantara
bagian barat dan tengah. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari
senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang
melebar, seringkali bilahnya berliku-liku, dan banyak di antaranya
memiliki
pamor (
damascene), yaitu guratan-guratan logam cerah pada helai bilah. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah
badik. Senjata tikam lain asli Nusantara adalah
kerambit.
Pada masa lalu keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan,
[1] sekaligus sebagai benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda
aksesori (
ageman) dalam ber
busana, memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi
estetikanya.
Penggunaan keris tersebar pada masyarakat penghuni wilayah yang pernah terpengaruh oleh
Majapahit, seperti
Jawa,
Madura,
Nusa Tenggara,
Sumatera, pesisir
Kalimantan, sebagian
Sulawesi,
Semenanjung Malaya,
Thailand Selatan, dan
Filipina Selatan (
Mindanao). Keris Mindanao dikenal sebagai
kalis. Keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan.
Keris
Indonesia telah terdaftar di
UNESCO sebagai
Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak 2005.
[2]
Asal-usul dan fungsi
Asal-usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber
tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15,
meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada
prasasti dari abad ke-9 Masehi. Kajian ilmiah perkembangan bentuk keris kebanyakan didasarkan pada analisis figur di
relief candi atau
patung. Sementara itu, pengetahuan mengenai fungsi keris dapat dilacak dari beberapa
prasasti dan laporan-laporan penjelajah asing ke Nusantara.
Awal mula: Pengaruh India-Tiongkok
Ge, belati-kapak dari
Tiongkok Kuna (abad V SM sampai III SM), memperlihatkan pamor pada bilahnya.
Senjata tajam dengan bentuk yang diduga menjadi sumber inspirasi
pembuatan keris dapat ditemukan pada peninggalan-peninggalan perundagian
dari
Kebudayaan Dongson dan Tiongkok selatan
[3].
Dugaan pengaruh kebudayaan Tiongkok Kuna dalam penggunaan senjata
tikam, sebagai cikal-bakal keris, dimungkinkan masuk melalui
kebudayaan Dongson
(Vietnam) yang merupakan "jembatan" masuknya pengaruh kebudayaan
Tiongkok ke Nusantara. Sejumlah keris masa kini untuk keperluan sesajian
memiliki gagang berbentuk manusia (tidak distilir seperti keris
modern), sama dengan belati Dongson
[3], dan menyatu dengan bilahnya.
Sikap menghormati berbagai benda-benda garapan
logam dapat ditelusuri sebagai pengaruh
India, khususnya
Siwaisme[4]. Prasasti Dakuwu (abad ke-6) menunjukkan
ikonografi India yang menampilkan "wesi aji" seperti
trisula,
kudhi,
arit, dan keris
sombro[5]. Para sejarawan umumnya bersepakat, keris dari periode pra-
Singasari
dikenal sebagai "keris Buda", yang berbentuk pendek dan tidak berluk
(lurus), dan dianggap sebagai bentuk awal (prototipe) keris.
[6]
Beberapa belati temuan dari kebudayaan Dongson memiliki kemiripan
dengan keris Buda dan keris sajen. Keris sajen memiliki bagian pegangan
dari logam yang menyatu dengan bilah keris.
Prototipe keris dari masa pra-Majapahit
Pahatan arca megalitik dan relief candi dari masa megalitikum sampai
abad 10-11 penanggalan Masehi kebanyakan menampilkan bentuk-bentuk
senjata tikam dan "wesi aji" lainnya yang mirip senjata dari Dongson
maupun India. Bentuk senjata tikam yang diduga merupakan prototipe keris
tersebut bilahnya belum memiliki kecondongan terhadap ganja sehingga
bilah terkesan simetris, selain itu pada umumnya menunjukan
hulu/deder/ukiran yang merupakan satu kesatuan dengan bilah (
deder iras).
Yang paling menyerupai keris adalah peninggalan megalitikum dari lembah
Basemah Lahat Sumatera Selatan dari abad 10-5 SM yang menggambarkan
kesatria sedang menunggang gajah dengan membawa senjata tikam (belati)
sejenis dengan keris hanya saja kecondongan bilah bukan terhadap ganja
tetapi terdapat kecondongan (derajat kemiringan) terhadap hulunya.
Selain itu satu panel relief Candi Borobudur (abad ke-9) yang
memperlihatkan seseorang memegang benda serupa keris tetapi belum
memiliki derajat kecondongan dan hulu/deder nya masih menyatu dengan
bilah.
Dari abad yang sama,
prasasti Karangtengah berangka tahun 824 Masehi menyebut istilah "keris" dalam suatu daftar peralatan
[5]. Prasasti Poh (904 M) menyebut "keris" sebagai bagian dari sesaji yang perlu dipersembahkan
[5]. Walaupun demikian, tidak diketahui apakah "keris" itu mengacu pada benda seperti yang dikenal sekarang.
Keris pusaka Knaud, salah satu contoh keris Buda.
Dalam pengetahuan perkerisan Jawa (
padhuwungan), keris dari
masa pra-Kadiri-Singasari dikenal sebagai "keris Buda" atau "keris
sombro". Keris-keris ini tidak berpamor dan sederhana
[7].
Keris Buda dianggap sebagai bentuk pengawal keris modern. Contoh bentuk
keris Buda yang kerap dikutip adalah milik keluarga Knaud dari
Batavia yang didapat Charles Knaud, seorang Belanda peminat mistisisme Jawa, dari Sri
Paku Alam V. Keris ini memiliki relief tokoh epik
Ramayana pada permukaan bilahnya dan mencantumkan angka tahun Saka 1264 (
1342 Masehi), sezaman dengan Candi Penataran, meskipun ada yang meragukan penanggalannya.
Relief rendah di Candi Penataran, Blitar. Perhatikan bagian hulu senjata
yang tidak simetris dan bilah yang langsing menunjukkan ciri keris
modern.
Keris Buda memiliki kemiripan bentuk dengan berbagai gambaran belati
yang terlihat pada candi-candi di Jawa sebelum abad ke-11. Belati pada
candi-candi ini masih memperlihatkan ciri-ciri senjata India, belum
mengalami "pemribumian" (indigenisasi). Adanya berbagai penggambaran
berbagai "wesi aji" sebagai komponen ikon-ikon dewa Hindu telah membawa
sikap penghargaan terhadap berbagai senjata, termasuk keris kelak.
Meskipun demikian, tidak ada bukti autentik mengenai evolusi perubahan
dari belati gaya India menuju keris buda ini.
Kajian ikonografi bangunan dan gaya ukiran pada masa Kadiri-Singasari
(abad ke-13 sampai ke-14) menunjukkan kecenderungan pemribumian dari
murni India menuju gaya Jawa, tidak terkecuali dengan bentuk keris.
Salah satu patung Siwa dari periode Singasari (abad ke-14 awal) memegang
"wesi aji" yang mirip keris, berbeda dari penggambaran masa sebelumnya.
Salah satu relief rendah (
bas-relief) di dinding Candi Penataran juga menunjukkan penggunaan senjata tikam serupa keris.
Candi Penataran (abad ke-11 sampai ke-13 M) dari masa akhir
Kerajaan Kadiri di
Blitar,
Jawa Timur.
Keris modern
Sanggar Mpu pembuat keris ditampilkan dalam relief
Candi Sukuh.
Belati tikam dan keris koleksi istana Pagarruyung. Belati tikam telah dikenal dari milenium pertama di Nusantara.
Keris modern yang dikenal saat ini diyakini para pemerhati keris memperoleh bentuknya pada masa
Majapahit (abad ke-14) tetapi sesungguhnya relief di
Candi Bahal peninggalan
Kerajaan Panai/Pane (abad ke-11 M), sebagai bagian dari kerajaan
Sriwijaya,
di Portibi Sumatera Utara, menunjukan bahwa pada abad 10-11M keris
modern sebagaimana yang dikenal sekarang sudah menemukan bentuknya,
selain itu uji karbon pada keris temuan yang berasal dari Malang Jawa
Timur yang ditemukan utuh beserta hulu/dedernya yang terbuat dari tulang
sehingga terhadap dedernya dapat dilakukan analisis karbon, menunjukan
hasil bahwa keris tersebut berasal dari abad 10M.
Berdasarkan relief keris modern paling awal pada candi Bahal Sumatera
Utara dan penemuan keris budha dari Jawa Timur yang sama- sama
menunjukan usia dari abad 10M dapatlah diperkirakan bahwa pada sekitar
abad 10 masehi mulai tercipta keris dalam bentuk nya yang modern yang
asimetris.
Dari abad ke-15, salah satu relief di
Candi Sukuh,
yang merupakan tempat pemujaan dari masa akhir Majapahit, dengan
gamblang menunjukkan seorang empu tengah membuat keris. Relief ini pada
sebelah kiri menggambarkan Bhima sebagai personifikasi empu tengah
menempa besi, Ganesha di tengah, dan Arjuna tengah memompa tabung peniup
udara untuk tungku pembakaran. Dinding di belakang empu menampilkan
berbagai benda logam hasil tempaan, termasuk keris.
... . Orang-orang ini [Majapahit] selalu mengenakan pu-la-t'ou
(belati? atau beladau?)yang diselipkan pada ikat pinggang. [...], yang
terbuat dari baja, dengan pola yang rumit dan bergaris-garis halus pada
daunnya; hulunya terbuat dari emas, cula, atau gading yang diukir
berbentuk manusia atau wajah raksasa dengan garapan yang sangat halus
dan rajin.
— Ma Huan, "Ying-yai Sheng-lan Fai"
Catatan
Ma Huan dari tahun 1416, anggota ekspedisi
Cheng Ho, dalam "Ying-yai Sheng-lan" menyebutkan bahwa orang-orang Majapahit selalu mengenakan (
pu-la-t'ou)yang
diselipkan pada ikat pinggang. Mengenai kata Pu-la-t'ou ini, meskipun
hanya berdasarkan kemiripan bunyi, banyak yang berpendapat bahwa yang
dimaksud adalah "belati", dan karena keris adalah senjata tikam
sebagaimana belati maka dianggap pu-la-t'ou menggambarkan keris.
Tampaknya masih harus dilakukan penelitian apakah betul pada masa
majapahit keris disebut "belati" tetapi terdapat deskripsi yang
menggambarkann bahwa "belati" ini adalah keris dan teknik pembuatan
pamor telah berkembang baik.
[8].
Bisa jadi yang dimaksud oleh Ma Huan dengan Pulat'ou adalah
"Beladau". Kata "beladau" lebih menyerupai "Pu- La-T'ou" daripada
"belati". Kalau benar yang dimaksud Ma Huan adalah beladau pada maka
gambaran Ma Huan tentang senjata yang banyak digunakan di Majapahit ini
bukan keris tetapi senjata tradisional sejenis Badik yang sekarang
banyak digunakan di Sumatera yang bentuknya melengkung mirip Jambiya,
meskipun senjata ini memiliki kecondongan tetapi tidak memiliki ganja
dan gandik sehingga tidak dapat digolongkan sebgai keris. Anggapan bahwa
yang dimaksud dengan Pu-La-T'ou adalah Beladau pun masih memerlukan
penelitian apakah memang pada masa majapahit masyarakat banyak memakai
beladau/sejenis badik sebagai senjata.
Tome Pires, penjelajah
Portugis dari abad ke-16, menyinggung tentang kebiasaan penggunaan keris oleh laki-laki Jawa
[9]. Deskripsinya tidak jauh berbeda dari yang disebutkan Ma Huan seabad sebelumnya.
Berita-berita Portugis dan
Perancis dari abad ke-17 telah menunjukkan penggunaan meluas pamor dan pemakaian pegangan keris dari kayu, tanduk, atau
gading di berbagai tempat di Nusantara
[10].
... setiap laki-laki di Jawa, tidak peduli kaya atau miskin, harus
memiliki sebilah keris di rumahnya ... dan tidak ada satu pun laki-laki
berusia antara 12 dan 80 tahun bepergian tanpa sebilah keris di
sabuknya. Keris diletakkan di punggung, seperti belati di Portugal...
— Tome Pires, "Suma Oriental"
Perkembangan fungsi keris
Pada masa kini, keris memiliki fungsi yang beragam dan hal ini ditunjukkan oleh beragamnya bentuk keris yang ada.
Keris sebagai elemen persembahan sebagaimana dinyatakan oleh
prasasti-prasasti dari milenium pertama menunjukkan keris sebagai bagian
dari persembahan. Pada masa kini, keris juga masih menjadi bagian dari
sesajian. Lebih jauh, keris juga digunakan dalam ritual/upacara mistik
atau paranormal. Keris untuk penggunaan semacam ini memiliki bentuk
berbeda, dengan
pesi menjadi hulu keris, sehingga hulu menyatu
dengan bilah keris. Keris semacam ini dikenal sebagai keris sesajian
atau "keris majapahit" (tidak sama dengan keris tangguh Majapahit)!.
Pemaparan-pemaparan asing menunjukkan fungsi keris sebagai senjata di
kalangan awam Majapahit. Keris sebagai senjata memiliki bilah yang
kokoh, keras, tetapi ringan. Berbagai legenda dari periode
Demak–
Mataram mengenal beberapa keris senjata yang terkenal, misalnya
keris Nagasasra Sabukinten.
Laporan Perancis dari abad ke-16 telah menceritakan peran keris sebagai simbol kebesaran para pemimpin Sumatera (khususnya
Kesultanan Aceh)
[11].
Godinho de Heredia
dari Portugal menuliskan dalam jurnalnya dari tahun 1613 bahwa
orang-orang Melayu penghuni Semenanjung ("Hujung Tanah") telah
memberikan racun pada bilah keris dan menghiasi sarung dan hulu keris
dengan batu
permata[12].
"Penghalusan" fungsi keris tampaknya semakin menguat sejak abad ke-19
dan seterusnya, sejalan dengan meredanya gejolak politik di Nusantara
dan menguatnya penggunaan
senjata api.
Dalam perkembangan ini, peran keris sebagai senjata berangsur-angsur
berkurang. Sebagai contoh, dalam idealisme Jawa mengenai seorang
laki-laki "yang sempurna", sering dikemukakan bahwa keris atau
curiga menjadi simbol pegangan ilmu/keterampilan sebagai bekal hidup
[13][14].
Berkembangnya tata krama penggunaan keris maupun variasi bentuk sarung
keris (warangka) yang dikenal sekarang dapat dikatakan juga merupakan
wujud penghalusan fungsi keris.
Pada masa kini, kalangan perkerisan Jawa selalu melihat keris sebagai
tosan aji atau "benda keras (logam) yang luhur", bukan sebagai senjata. Keris adalah
dhuwung, bersama-sama dengan
tombak; keduanya dianggap sebagai benda "pegangan" (
ageman)
yang diambil daya keutamaannya dengan mengambil bentuk senjata tikam
pada masa lalu. Di Malaysia, dalam kultur monarki yang kuat, keris
menjadi identitas kemelayuan.
Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah
Jawa dan
Sunda
misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai
tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Penempatan keris di depan
dapat diartikan sebagai kesediaan untuk bertarung. Selain itu, terkait
dengan fungsi, sarung keris Jawa juga memiliki variasi utama: gayaman
dan ladrang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan
Filipina, keris ditempatkan di depan dalam upacara-upacara kebesaran.
Bahan, pembuatan, dan perawatan
Logam dasar yang digunakan dalam pembuatan keris ada dua macam logam adalah logam
besi dan logam pamor
baja. Untuk membuatnya ringan para Empu selalu memadukan bahan dasar ini dengan logam lain. Keris masa kini (
nèm-nèman, dibuat sejak abad ke-20) biasanya memakai logam pamor
nikel. Keris masa lalu (
keris kuna) yang baik memiliki logam pamor dari batu
meteorit yang diketahui memiliki kandungan
titanium yang tinggi, di samping nikel,
kobal,
perak,
timah putih,
kromium,
antimonium, dan
tembaga. Batu meteorit yang terkenal adalah meteorit Prambanan, yang pernah jatuh pada abad ke-19 di
kompleks percandian Prambanan.
Pembuatan keris bervariasi dari satu empu ke empu lainnya, tetapi
terdapat prosedur yang biasanya bermiripan. Berikut adalah proses secara
ringkas menurut salah satu pustaka
[15]. Bilah besi sebagai bahan dasar di
wasuh atau dipanaskan hingga berpijar lalu ditempa berulang-ulang untuk membuang pengotor (misalnya
karbon
serta berbagai oksida). Setelah bersih, bilah dilipat seperti huruf U
untuk disisipkan lempengan bahan pamor di dalamnya. Selanjutnya lipatan
ini kembali dipanaskan dan ditempa. Setelah menempel dan memanjang,
campuran ini dilipat dan ditempa kembali berulang-ulang. Cara, kekuatan,
dan posisi menempa, serta banyaknya lipatan akan memengaruhi pamor yang
muncul nantinya. Proses ini disebut
saton. Bentuk akhirnya adalah lempengan memanjang. Lempengan ini lalu dipotong menjadi dua bagian, disebut
kodhokan. Satu lempengan baja lalu ditempatkan di antara kedua
kodhokan seperti roti
sandwich, diikat lalu dipijarkan dan ditempa untuk menyatukan. Ujung kodhokan lalu dibuat agak memanjang untuk dipotong dan dijadikan
ganja. Tahap berikutnya adalah membentuk
pesi,
bengkek (calon gandhik), dan terakhir membentuk bilah apakah berluk atau lurus. Pembuatan luk dilakukan dengan pemanasan.
Tahap selanjutnya adalah pembuatan ornamen-ornamen (
ricikan) dengan menggarap bagian-bagian tertentu menggunakan
kikir,
gerinda, serta
bor, sesuai dengan
dhapur keris yang akan dibuat.
Silak waja
dilakukan dengan mengikir bilah untuk melihat pamor yang terbentuk.
Ganja dibuat mengikuti bagian dasar bilah. Ukuran lubang disesuaikan
dengan diameter pesi.
Tahap terakhir, yaitu penyepuhan, dilakukan agar logam keris menjadi
logam besi baja. Pada keris Filipina tidak dilakukan proses ini.
Penyepuhan ("menuakan logam") dilakukan dengan memasukkan bilah ke dalam campuran
belerang,
garam, dan perasan
jeruk nipis (disebut
kamalan).
Penyepuhan juga dapat dilakukan dengan memijarkan keris lalu dicelupkan ke dalam cairan (
air, air garam, atau minyak kelapa, tergantung pengalaman Empu yang membuat). Tindakan
penyepuhan harus dilakukan dengan hati-hati karena bila salah dapat membuat bilah keris retak.
Selain cara Penyepuhan yang lazim seperti diatas dalam penyepuhan
Keris dikenal pula Sepuh jilat yaitu pada saat logam Keris membara
diambil dan dijilati dengan lidah, Sepuh Akep yaitu pada saat logam
Keris membara diambil dan dikulum dengan bibir beberapa kali dan Sepuh
Saru yaitu pada saat logam Keris membara diambil dan dijepit dengan alat
kelamin wanita (Vagina) Sepuh Saru ini yang terkenal adalah Nyi Sombro,
bentuk kerisnya tidak besar tapi disesuaikan.
Pemberian
warangan
dan minyak pewangi dilakukan sebagaimana perawatan keris pada umumnya.
Perawatan keris dalam tradisi Jawa dilakukan setiap tahun, biasanya pada
bulan
Muharram/
Sura,
meskipun hal ini bukan keharusan. Istilah perawatan keris adalah
"memandikan" keris, meskipun yang dilakukan sebenarnya adalah membuang
minyak pewangi lama dan
karat pada bilah keris, biasanya dengan cairan asam (secara tradisional menggunakan air buah
kelapa, hancuran buah
mengkudu, atau perasan
jeruk nipis).
Bilah yang telah dibersihkan kemudian diberi warangan bila perlu untuk
mempertegas pamor, dibersihkan kembali, dan kemudian diberi minyak
pewangi untuk melindungi bilah keris dari karat baru. Minyak pewangi ini
secara tradisional menggunakan minyak
melati atau minyak
cendana yang diencerkan pada minyak kelapa.
Morfologi
Beberapa istilah di bagian ini diambil dari tradisi Jawa, semata karena rujukan yang tersedia.
Keris atau
dhuwung terdiri dari tiga bagian utama, yaitu bilah (
wilah atau daun keris),
ganja ("penopang"), dan hulu keris (
ukiran, pegangan keris). Bagian yang harus ada adalah bilah. Hulu keris dapat terpisah maupun menyatu dengan bilah.
Ganja
tidak selalu ada, tapi keris-keris yang baik selalu memilikinya. Keris
sebagai senjata dan alat upacara dilindungi oleh sarung keris atau
warangka.
Bilah keris merupakan bagian utama yang menjadi identifikasi suatu keris. Pengetahuan mengenai bentuk (
dhapur)
atau morfologi keris menjadi hal yang penting untuk keperluan
identifikasi. Bentuk keris memiliki banyak simbol spiritual selain nilai
estetika. Hal-hal umum yang perlu diperhatikan dalam morfologi keris
adalah kelokan (
luk), ornamen (
ricikan), warna atau pancaran bilah, serta pola pamor. Kombinasi berbagai komponen ini menghasilkan sejumlah bentuk standar (
dhapur) keris yang banyak dipaparkan dalam pustaka-pustaka mengenai keris.
Pengaruh waktu memengaruhi gaya pembuatan. Gaya pembuatan keris tercermin dari konsep
tangguh, yang biasanya dikaitkan dengan periodisasi sejarah maupun geografis, serta empu yang membuatnya.
Pegangan keris
Sebuah keris dengan pegangan berbentuk
Semar
Pegangan keris (
bahasa Jawa:
gaman, atau hulu keris) ini bermacam-macam motifnya, untuk keris
Bali ada yang bentuknya menyerupai dewa, pedande (
pendeta), raksasa, penari, pertapa hutan dan ada yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia dan biasanya bertatahkan batu
mirah delima.
- Pegangan keris Sulawesi
menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian
profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung
adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung
yang digunakan pada keris Riau Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau) , Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura dan Sulu,
keris mempunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi
yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang,
logam, dan yang paling banyak yaitu kayu.
- Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking ( kepala bagian belakang ) , jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan) ,weteng dan bungkul.
- Warangka atau sarung keris
Warangka, atau sarung keris (bahasa Banjar :
kumpang), adalah
komponen keris yang mempunyai fungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan
sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat
secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari
kayu (yang umum adalah
jati,
cendana,
timoho, dan
kemuning).
Sejalan dengan perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi wrangka
sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau
ladrang-gayaman sering diganti dengan
gading.
- Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis warangka ladrang yang terdiri dari bagian-bagian : angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis wrangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan wrangka ladrang tetapi tidak terdapat angkup, godong, dan gandek.
- Aturan pemakaian bentuk wrangka ini sudah ditentukan, walaupun tidak
mutlak. Wrangka ladrang dipakai untuk upacara resmi , misalkan
menghadap raja, acara resmi keraton lainnya (penobatan, pengangkatan
pejabat kerajaan, perkawinan, dll) dengan maksud penghormatan. Tata cara
penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen)
pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk
keselamatan raja ). Sedangkan wrangka gayaman dipakai untuk keperluan
harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) ataupun
di belakang (pinggang belakang).
- Dalam perang, yang digunakan adalah keris wrangka gayaman ,
pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena wrangka
gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya
lebih sederhana.
- Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk wrangka, dan bagian utama
menurut fungsi wrangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang (
sepanjang wilah keris ) yang disebut gandar atau antupan
,maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya
terbuat dari kayu ( dipertimbangkan untuk tidak merusak wilah yang
berbahan logam campuran ) .
- Karena fungsi gandar untuk membungkus , sehingga fungsi keindahannya
tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya akan dilapisi seperti
selongsong-silinder yang disebut pendok . Bagian pendok
( lapisan selongsong ) inilah yang biasanya diukir sangat indah ,
dibuat dari logam kuningan, suasa ( campuran tembaga emas ) , perak,
emas . Untuk daerah diluar Jawa ( kalangan raja-raja Bugis , Goa, Palembang,
Riau, Bali ) pendoknya terbuat dari emas , disertai dengan tambahan
hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan
berlian.
- Untuk keris Jawa , menurut bentuknya pendok ada tiga macam, yaitu (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya , (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat , serta (3) pendok topengan
yang belahannya hanya terletak di tengah . Apabila dilihat dari
hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos
(tanpa ukiran).
Keris Moro (kalis) dari Sulu, bilah tidak dituakan dan tidak berpamor.
- Wilah
atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri
dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang
biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola , pinarak, jamang murub, bungkul , kebo tedan, pudak sitegal, dll.
- Pada pangkal wilahan terdapat pesi , yang merupakan ujung
bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke
pegangan keris ( ukiran) . Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm,
dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang
seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.
- Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (untuk daerah semenanjung Melayu menyebutnya aring).
Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi,
sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, dimana ganja mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya. Ganja ini sepintas berbentuk cecak, bagian depannya disebut sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled , bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut , dungkul , kelap lintah dan sebit rontal.
- Luk, adalah bagian yang berkelok dari wilah-bilah keris, dan
dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu
keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah
satu cara sederhana menghitung luk pada bilah , dimulai dari pangkal
keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada
kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir
adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal ( ganjil) dan tidak pernah genap,
dan yang terkecil adalah luk tiga (3) dan terbanyak adalah luk tiga
belas (13). Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas,
biasanya disebut keris kalawija, atau keris tidak lazim.
Pasikutan, tangguh keris, dan perkembangan pada masa kini
- Lihat pula artikel Tangguh keris.
Yang dimaksud dengan
pasikutan adalah "roman" atau kesan emosi
yang dibangkitkan oleh wujud suatu keris. Biasanya, personifikasi
disematkan pada suatu keris, misalnya suatu keris tampak seperti
"bungkuk", "tidak bersemangat", "riang", "tidak seimbang", dan
sebagainya
[16]. Kemampuan menengarai
pasikutan merupakan tahap lanjut dalam mendalami ilmu perkerisan dan membawa seseorang pada
panangguhan keris.
Langgam/gaya pembuatan suatu keris dipengaruhi oleh zaman, tempat
tinggal dan selera empu yang membuatnya. Dalam istilah perkerisan Jawa,
langgam keris menurut waktu dan tempat ini diistilahkan sebagai
tangguh.
Tangguh dapat juga diartikan sebagai "perkiraan", maksudnya adalah
perkiraan suatu keris mengikuti gaya suatu zaman atau tempat tertentu.
"Penangguhan" keris pada umumnya dilakukan terhadap keris-keris pusaka,
meskipun keris-keris baru dapat juga dibuat mengikuti tangguh tertentu,
tergantung keinginan pemilik keris atau empunya.
Tangguh keris tidak bersifat mutlak karena deskripsi setiap tangguh
pun dapat bersifat tumpang tindih. Selain itu, pustaka-pustaka lama
tidak memiliki kesepakatan mengenai empu-empu yang dimasukkan ke dalam
suatu tangguh. Hal ini disebabkan tradisi lisan yang sebelum abad ke-20
dipakai dalam ilmu
padhuwungan.
Meskipun tangguh tidak identik dengan umur, tangguh keris (Jawa) yang tertua yang dapat dijumpai saat ini adalah
tangguh Buda
(atau keris Buda). Keris modern pusaka tertua dianggap berasal dari
tangguh Pajajaran, yaitu dari periode ketika sebagian Jawa Tengah masih
di bawah pengaruh
Kerajaan Galuh. Keris pusaka termuda adalah dari masa pemerintahan
Pakubuwana X
(berakhir 1939). Selanjutnya, kualitas pembuatan keris terus merosot,
bahkan di Surakarta pada dekade 1940-an tidak ada satu pun pandai keris
yang bertahan
[17].
Kebangkitan seni kriya keris di Surakarta dimulai pada tahun 1970, dibidani oleh K.R.T.
Hardjonagoro (Go Tik Swan) dan didukung oleh
Sudiono Humardani[17], melalui perkumpulan
Bawa Rasa Tosan Aji.
Perlahan-lahan kegiatan pandai keris bangkit kembali dan akhirnya ilmu
perkerisan juga menjadi satu program studi pada Sekolah Tinggi Seni
Indonesia Surakarta (sekarang
ISI Surakarta).
Keris-keris yang dibuat oleh para pandai keris sekarang dikenal sebagai
keris kamardikan ("keris kemerdekaan"). Periode ini melahirkan beberapa pandai keris kenamaan dari Solo
[17]
seperti KRT. Supawijaya (Solo), Pauzan Pusposukadgo (Solo), tim pandai
keris STSI Surakarta, Harjosuwarno (bekerja pada studio milik KRT
Hardjonagoro di Solo), Suparman Wignyosukadgo (Solo)
[18].
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
http://id.wikipedia.org/wiki/Keris